Selasa, 14 April 2009

ETIKA DALAM BERDAGANG





"Muslim itu saudara muslim lainnya. Tidak boleh bagi seorang muslim, apabila dia berdagang dengan saudaranya dan menemukan cacat, kecuali diceritakannya". (H.R. At-Thabrani dan Ahmad)
Hadits itu jelas memerintahkan umat Islam untuk jujur, termasuk dalam berbisnis. Padahal, banyak orang berpendapat, berdagang yang jujur kini sudah tidak ada. Karena dengan kejujuran, ti pedagang sulit mendapat keuntungan. bukan tidak mungkin akan menderita yang besar.
Sepintas lalu, mengurangi timbangan, takaran atau ukuran yang seharusnya diterima pembeli atau penerima jasa karena bedanya sangat kecil memang tidak mudah diketahui pembeli atau penerima jasa. Sedangkan bagi pedagang atau penjual, keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. Apalagi bila penjualannya cukup besar.
Padahal Allah mengingatkan dalam firman-Nya:
"Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil". (QS. (2) Al-Baqarah, 188).
Mungkin pembeli tidak tahu atau tidak sempat memeriksa perbedaan timbangan atau takaran itu. Namun cara yang tidak jujur itu dihadapan Allah s.w.t. pasti terlihat. Kecurangan seperti itu tentu ada 'imbalannya'. Balasan yang diberikan Allah itu mungkin sepintas lalu juga tidak keras, seperti cara dia mengurangi ukuran atau takaran untuk pembeli., hanya berupa peringatan seperti peringatan Nabi Muhammad s.a.w. :
"Barangsiapa menipu, dia tidak termasuk golongan (umat) kami"
(H.R. Jamaah, kecuali Bukhari dan Nasai').
Namun bagi umat Islam yang tentu menginginkan tetap sebagai muslim hingga menghadap Sang Khaliq, ancaman yang disampaikan Rasulullah itu sangat menakutkan. Bila karena ulahnya, seseorang tidak dimasukkan sebagai golongan (umat) Islam, akan merugi di dunia dan akhirat.
Sedang dibagian lain, pembeli tidak selamanya akan dapat dibodohi atau ditipu. Mereka tidak akan percaya begitu saja selamanya terhadap yang mereka peroleh dari penjual. Suatu ketika, mereka tentu akan membandingkan apa yang diperoleh dengan apa yang diperoleh dari tempat lain.
Bila ternyata, yang diperoleh di tempat A lebih sedikit dibanding di B. Dengan pasti diyakini, kepercayaan pembeli terhadap A akan hilang. Padahal kepercayaan merupakan salah satu modal utama untuk sukses. Tentu pembeli tidak akan membeli lagi di tempat yang merugikan mereka. Karena kepercayaan kepada pengusaha itu sudah hilang atau rusak.
Keadaan yang tidak menguntungkan seperti itu tidak akan berhenti sampai disitu. Masyarakat biasanya selalu memberikan informasi kepada orang lain, khususnya kerabatnya.Terutama tentang pengalaman yang dialaminya, baik atau buruk. termasuk pengalaman membeli sesuatu di tempat tertentu.
Kalau kabar buruk usaha seseorang telah tersebar, dapat dipastikan, cepat atau lambat usaha orang itu akan mengalami kemunduran. Berarti secara perlahan akan menuju kebangkrutan. Karena pedagang atau pengusaha itu akan ditinggalkan pembelinya.
Kenyataan itu akan berakibat buruk, bukan tidak mungkin pada akhirnya, mata pencaharian keluarga dari pedagang itu akan tertutup. Lebih dari itu, ketidakpercayaan itu akan meluas ke masalah di luar dagang. Tidak seorang pun dari pedagang yang ingin keadaan itu terjadi.
Untuk menghindari itu, seorang pedagang, pengusaha atau pekerja harus jujur. Kalau perlu, usahakan agar pembeli tidak perlu melihat sendiri ketika mengukur dan menimbang. Tapi ia yakin, apa yang diberikan sudah benar.

Mungkin dengan kejujuran itu, keuntungan yang diperoleh tidak seberapa besar. Tetapi dengan sikap itu, pembeli akan bertambah. Karena Allah akan memberikan kelebihan kepada orang jujur itu. Sedang pembeli tentu juga akan menyebarkan informasi tentang kejujuran dan kebaikan pedagang itu kepada yang lain, sehingga pembelinya akan bertambah.
Dengan kejujuran dalam berdagang berdasarkan iman kepada Allah, bagi orang yang tidak beriman tentu akan merasa menderita kerugian yang besar. Karena kemungkinan keuntungannya akan berkurang. Tetapi yakinlah, perintah Allah itu dengan satu konsekwensi, pedagang yang jujur itu tidak akan merugi.
Pedagang jujur itu akan lebih mudah menjalin hubungan dagang dengan pihak lain, tanpa harus menyiapkan modal berlebihan. Sesama pengusa-ha, tidak akan keberatan melakukan kerjasama saling menguntungkan. Syaratnya tentu orang yang bisa diajak kerjasama itu jujur dan bisa dipercaya.
Pada ayat lain Allah menjelaskan :
"Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS.28 Al-Qashash 26)
Keberhasilan menjaga kepercayaan (amanah) orang lain secara jujur, ternyata bisa membuat orang yang jujur itu mendapat barang yang bisa diperdagangkan lebih banyak. Kenyataan itu, juga berdampak pada bertambahnya penghasilan pedagang jujur tersebut.
Bila seorang pedagang jujur, banyak pedagang lain yang bersedia bekerja sama, menitipkan barang-barang di tokonya dan dibayar setelah barang itu laku. Atau juga meminjamkan modal untuk mengembangkan usaha dengan sistem yang tidak bertentangan dengan syariah, seperti sistem bagi hasil. Pedagang jujur itu semakin laris, bukan hanya dalam arti menjual, tetapi juga laris dalam mendapat kesempatan mengembangkan usahanya.
Seandainya keadaan itu sudah terwujud, jangan lupa tetap menjaga dan mempertahan-kannya. Kealpaan dalam masalah sepele atau kecil, bisa menghancurkan usaha yang sudah maju. Sekali kepercayaan bisnis dilalaikan, kepercayaan hilang.
Selain keuntungan itu Allah sudah mengingatkan hal itu dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, sedang orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka". (QS. (82) Al-lnfithaar, 13-14)
Itu berarti, pedagang jujur mendapatkan dua keuntungan sekaligus, dalam usaha dan kehidupan akhirat. Sebaliknya, bila kepercayaan terhadap lembaga maupun pribadi dari pedagang lain hilang. Apalagi bila sikap itu serentakdari pembeli maupun dari pedagang lain, tentu dalam waktu yang tidak lama, usaha orang itu akan mengalami kemun-duran. Bahkan bila hal itu berlanjut, bukan tidak mungkin bisa sampai titik akhir usaha, artinya usaha akan mengalami kehancuran dan tutup.
Seandainya keadaan itu terjadi, merupakan kondisi yang sulit baginya bangkit kembali. Karena mereka yang sudah tidak percaya, akan sulit merubah kepercayaan itu, meskipun si pedagang itu sudah berusaha merubah dan meyakinkan. Karena hal itu menyangkut masalah kejujuran yang terkait dengan kepercayaan pihak lain harus dijaga agar tetap utuh.
Rasulullah Muhammad s.a.w. yang dikenal sebagai seorang yang tidak bisa membaca, ternyata bisa menjadi pedagang ulung. Dengan modal kejujurannya, sehingga diberi gelar AI-Amin (orang yang dapat dipercaya), sebelum menjadi Rasul mampu membantu bisnis Siti Khadijah sehingga semakin maju.
Akhirnya, karena tertarik pada akhlak mulia Muhammad, janda kaya itu bersedia menjadi isteri beliau hingga akhir hayatnya. bahkan, seperti kita pelajari, Khadijah merupakan manusia pertama yang percaya kepada kenabian dan kerasulan Muhammad.
Umat Islam dalam berusaha, tentu yakin akan ajaran agamanya. Dengan meniru cara Rasul berdagang yang merupakan kejujuran, tentu usahanya juga akan berjalan dengan sukses. Keberhasilan itu bukan hanya dalam persoalan bisnis dalam artian keuntungan materi, tetapi juga keuntungan lain, berupa hubungan bisnis yang semakin terbuka dengan luas.
Kondisi seperti itu tentu akan memberi keuntungan, tidak hanya perolehan keuntungan materi dalam jangka pendek, tetapi juga demi kelang-gengan usaha. Meskipun dengan usaha yang tidak jujur keuntungan akan lebih banyak tetapi dalam waktu terbatas, dengan kejujuran hasil yang diperoleh akan berlangsung lama dan semakin lama nilainya semakin besar. Akhirnya keuntungan yang diperoleh juga banyak, insya-Allah.

Sumber :
Mondry Al-Minangkabawy, Kiat Bisnis dalam Islam, GAMA GLOBAL MEDIA, YOGYAKARTA, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar